MENJAGA KUALITAS DAN DAYA SAING BATIK DENGAN SNI

dengan
Kampung batik Giriloyo (Foto ilustrasi: Putu Intan)

Dobrak.idBatik di era sekarang telah menjadi pakaian andalan bagi sebagian besar kalangan masyarakat. Memakai batik tidak hanya untuk menghadiri acara formal, tetapi juga digunakan dalam aktivitas sehari-hari. Hal yang terlihat dengan jelas, setiap ada hajatan orang cenderung memilih memakai batik dibandingkan dengan setelan jas atau baju pesta misalnya. Batik pun kini dipilih sebagai salah satu seragam sekolah atau pakaian yang digunakan karyawan pada hari tertentu baik di instansi pemerintah maupun lembaga swasta dan perusahaan.

Era modern saat ini, batik bahkan telah mendunia. Corak batik yang beraneka ragam dan menyimpan nilai budaya ternyata disukai pula oleh orang asing. Pakaian khas dengan budaya yang kental untungnya telah diakui sebagai warisan budaya nusantara. Pada 4 September 2008 batik tercatat didaftarkan ke Unesco sebagai intangible cultural heritage. Selang sekitar setahun kemudian secara resmi batik sebagai warisan kemanusiaan karya agung budaya lisan non bendawi.

Sebagai catatan sejarah pula tanggal 2 Oktober ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional yang kita ketahui sekarang. Penggunaan pakaian batik pada event international pun sudah sering kita lihat, tidak hanya tokoh nasional saja bahkan tokoh-tokoh dunia juga nyaman memakainya. Perhatian khusus pada kualitas batik tentunya menjadi nilai jual yang perlu ditonjolkan.

Jaminan Kualitas

Di beberapa daerah yang diyakini sebagai asal mula dibuatnya batik seperti Jogja, Solo, Pekalongan dapat kita temui kawasan sebagai sentra pembuat batik atau lebih dikenal dengan kampung batik. Seni yang diwariskan turun temurun ini tak boleh kehilangan identitasnya sekaligus jaminan kualitas produk yang dihasilkannya. Maka dengan adanya suatu standar dapat dijadikan acuan bagi para perajin dan produsen batik dalam menjaga mutu dari kain batik yang dibuatnya.

Mengapa ini patut menjadi perhatian penting? Sebab dengan standar pula suatu produk dapat terjaga mutunya. Produk yang bermutu akan lebih memiliki daya saing di pasar. Batik sebagai sebuah warisan budaya sekaligus sebagai identitas busana nusantara harus tetap dilestarikan di tengah pengaruh budaya asing dan gempuran kompetisi pasar yang merusak citra hingga tak sedikit pula yang menjiplaknya.

Standar Batik

Yang patut digarisbawahi, di pasaran telah banyak kain tiruan batik yang sudah membanjiri, khususnya yang berasal dari China. Umumnya kain ini dihasilkan melalui proses printing atau cetak pabrik. Maka dari itu, disebut kain tiruan batik. Sebab faktanya tidak bisa dikatakan batik.

Definisi batik menurut SNI adalah seni kerajinan tangan hasil pewarnaan menggunakan malam (lilin batik) panas sebagai perintang warna dengan alat utama pelekat lilin batik yang berupa canting tulis atau canting cap untuk membentuk motif tertentu yang mengandung makna. Sedangkan jenisnya ada tiga yaitu batik cap, tulis, dan kombinasi. Dari masing-masing jenis batik ini sudah ada SNI-nya yaitu SNI 8302:2016/AMD 1:2019 Batik tulis-kain-ciri, syarat mutu dan metode uji; SNI 8303:2016/Amd:2019 Batik cap-kain-ciri, syarat mutu dan metode uji dan SNI 8304:2016/Amd 2019 Batik kombinasi-Kain-ciri, syarat mutu dan metode uji.

Dengan adanya SNI ini para pengusaha lokal dapat mengacu persyaratan pembuatan batik yang sesuai standar. Diharapkan pula batik yang dihasilkan tersertifikasi SNI sehingga dapat mencantumkan logo pada produk. Batik yang ber-SNI sebagai upaya peningkatan daya saing produk sudah saatnya diprioritaskan di tengah persaingan pasar. Namun hal ini tidak mudah terwujud mengingat banyak permasalahan yang dihadapi industri batik.

Dengan jumlah pengrajin batik sekitar 47.000 pada tahun 2019 yang kebanyakan berskala industri kecil dan menengah, masalah klasik juga dialami oleh para pengrajin. Kendala seperti produktivitas yang rendah, pemasaran, permodalan usaha, hingga akses bahan baku produksi merupakan sederet problema yang perlu dientaskan.

Selain itu, dalam industri batik tengah mengalami loss generation; existing pengrajin batik tergolong sudah berusia paruh baya. Edukasi kepada generasi penerus yang merupakan generasi milenial agar berminat menekuni seni membatik sepatutnya jangan sampai putus sebab seni membatik ini membutuhkan keahlian, keterampilan, dan ketekunan yang harus terus menerus agar dapat menghasilkan karya yang berkualitas dan bernilai tinggi.

Dilihat dari nilai perdagangan, kinerja ekspor batik sayangnya mengalami kemerosotan. Jika pada 2015 nilai ekspor mencapai 185,04 juta dolar, maka pada 2020 hanya menyisakan 25,39 juta dolar. Apalagi kondisi bertambah sulit sejak adanya pandemi Covid-19 yang tidak hanya menurunkan permintaan kebutuhan, tetapi juga banyak para pengrajin yang beralih profesi dan tidak sedikit pula yang menganggur karena sepinya pasar permintaan.

Dukungan kepada seluruh stakeholder yang terlibat dalam industri batik dalam upaya meningkatkan kembali transaksi perdagangan batik harus tetap penuh dilakukan. Standar SNI batik sebagai strategi dalam upaya peningkatan daya saing harus pula dibarengi dengan penciptaan iklim dan gairah usaha yang saling terkait antarlini baik dari upstream (industri kain, zat warna, mesin peralatan), middle stream (pengrajin, sentra industri) hingga berujung pada downstream (industri fashion, industri kerajinan).

Batik adalah pakaian tradisional asli budaya Indonesia, namun demikian batik dapat pula mengikuti tren fashion dan perkembangan zaman asal para pihak tetap mau melestarikan.
Reza Lukiawan mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi IPB, ASN BRIN

Sumber Artikel : detik.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *